Antara Game, Kecanduan, dan Kerusakan Otak pada Anak
Saat anak-anak tahu bahwa mereka
tidak diijinkan memakai laptop di hari sekolah kecuali Sabtu setelah pulang
sekolah hingga hari Minggu, beberapa anak langsung mengajukan protes. Bahkan
ada yang merasa “terjebak” bersekolah di IIHS karena larangan memakai laptop
untuk main game.
Dengan gaya diplomasi ia berkata,”Laptop itu hidup saya. Saya
tak bisa konsentrasi belajar tak punya semangat hidup kalau tanpa laptop saya.
Saya ini kan jagoan IT yang harus selalu bersentuhan dengan laptop untuk
menuangkan ide-ide.”
Segala cara dilakukannya agar
diberi dispensasi pemakaian laptop. Bahkan ia mulai mengancam orang tua untuk
menariknya dari sekolah jika tetap tak diijinkan memakai laptop. Orang tua yang
setiap hari mendengar keluh kesah anaknya tentang ketakberdayaannya hidup tanpa
laptop akhirnya memohon ijin untuk si anak memakai laptop. Dengan tegas,
Principal menolak.
“Jika satu orang diijinkan
memakai laptop maka aturan takkan dianggap sebagai aturan lagi. Semua anak akan
protes dan meminta hak yang sama untuk memakai laptop. Terpaksa kami harus
konsisten bahwa anak hanya diijinkan memakai laptop di hari Sabtu dan Minggu
kecuali jika guru memberikan tugas yang harus dibuat dengan bantuan laptop.
Itupun guru harus membuat surat ijin kepada mursyid dan mursyidah agar si anak
diijinkan memakai laptop disertai keterangan untuk pembuatan tugas, jam dan
tempat pemakaian.”
Keputusan telah dibuat tak untuk
dinego ulang atau ditangguhkan. Berlaku untuk semua orang. Ketika si anak ini
tetap ngotot meminta ijin pemakaian laptop barulah terungkap kemudian jika ia
akan menggunakannya bukan untuk mengerjakan proyek-proyek IT melainkan main
game.
Jika orang tua menyadari, jika
sebenarnya sang anaknya telah kecanduan game. Kecanduan game seharusnya tidak
dianggap enteng karena merusak otak. Dari sebuah jurnal psikologi, para
peneliti juga meneliti efek game terhadap sikap dan otak anak-anak. Anak-anak
yang kecanduan game jadi kehilangan sense of struggle. Permainan game yang hanya
mengandalkan pencapaian poin tertinggi dan semangat mengalahkan para pesaing
dengan berbagai cara (diantaranya dengan mengunduh program cracker) membut
anak-anak tidak peka terhadap nilai-nilai sosial yang berlaku di masyarakat
seperti toleransi, menghargai sesama, kejujuran dan menjunjung fair play.
Anak-anak ini berlaku curang tanpa merasa bersalah agar bisa menang. Setelah
otak anak-anak yang kecanduan game ini discanning ternyata ada simpul otak yang
menilai nilai baik dan buruk, areanya mengecil bahkan hilang.
Menurut Sussy Yusna Dewi
psikiater anak dan remaja RSJ Soeharto Heerjan ciri-ciri kecanduan game di
antaranya adalah jika jam bermain game anak makin meningkat, anak menunjukkan
ekspresi permusuhan dan marah jika jam bermain gamenya dikurangi atau
dihentikan, dalam kasus yang lebih berat anak menjadi lupa waktu, lupa makan
serta enggan bersosialisasi dengan keluarga dan teman serta tidak mau sekolah.
Saat ini sang psikiater menangani
11 kasus, naik 500% dari tahun sebelumnya yang hanya 2 kasus. Peningkatan ini
terjadi karena mulai tumbuhnya kesadaran orang tua akan bahaya kecanduan game
karena dapat membuat anak mengalami gangguan jiwa. Seorang pasiennya drop out
dari fakultas kedokteran gigi ternama gara-gara kecanduan game. Harga yang
sangat mahal untuk sebuah kesenangan tanpa manfaat. Kita semua pasti tak
menginginkan hal itu yang akan terjadi pada anak didik kita yang kelak menjadi
khalifah fil ardl.
Maka, dibutuhkan kerjasama orang
tua dan pihak sekolah agar aturan penggunaan laptop yang memang harus dibatasi
demi kepentingan si anak itu sendiri. Jika orang tua bersikap tegas dan
bersikap satu suara dengan pihak sekolah dan asrama maka anak dari sikap
keterpaksaan akhirnya bisa menerima toleransi bahwa ia hanya bisa bermain game
2 hari dalam seminggu.
Sekali lagi butuh penanaman
secara terus menerus pada anak bahwa pembatasan penggunaan laptop untuk bermain
game adalah demi kepentingannya sendiri. Dan yang juga harus disadari pemanjaan
dan pemenuhan segala kebutuhan anak dengan mudah hanya akan merusak masa
depannya.
Maka kerjasama orang tua, guru
dan mursyid diperlukan untuk menjaga anak-anak kita terperangkap dalam jebakan
game addicted. Satu hal mengerikan yang tak kita inginkan. Dibutuhkan kerjasama
orang tua dan guru untuk mengawasi anak dalam penggunaan gadget. Banyak orang
tua luluh saat anak merengek, tapi perlu Bapak dan Ibu ketahui bahwa ketegasan
kita dalam bersikap terhadap anak akan membantu menyelamatkan masa depan anak
dan juga kesehatan otaknya.
0 komentar